Seperti apa izin Ahok atas reklamasi Teluk Jakarta? Berikut ulasan lengkap Abdullah Sammy seperti dirilis Republika, Selasa (5/4/2016):
Membedah Izin Ahok atas Reklamasi Teluk Jakarta
Awal pekan ini, anggota DPRD DKI dari Fraksi Gerindra, M Sanusi, ditangkap KPK. KPK mengungkapkan kasus Sanusi terkait dugaan suap dalam proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
Tersangka pemberi suap bukan orang sembarangan. Sebab kasus ini disebut melibatkan Presiden Direktur (Presdir) PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja.
Yang lebih jadi sorotan karena kasus ini terkait dengan megaproyek reklamasi Teluk Jakarta. Sebuah proyek yang nilainya ditaksir mencapai Rp 500 triliun. Angka yang nyaris tiga kali lipat dari nominal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Desember 1998.
Suap terhadap Sanusi disebut KPK terkait dengan rencana peraturan daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Raperda ini menyangkut pembagian zona dari pulau-pulau di Teluk Jakarta. Raperda akan mengatur mana wilayah di kepulauan Jakarta yang diperuntukkan untuk wilayah umum, kawasan pelayaran, budidaya, hingga kawasan konservasi.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama buru-buru merespons kasus ini.
Pria yang akrab disapa Ahok heran mengapa perusahaan yang diberinya izin reklamasi, justru terlibat dalam 'permainan' Raperda Zonasi. Sebab bagi Ahok, tak ada hubungannya reklamasi dengan Raperda Zonasi.
Menurut Ahok soal zonasi adalah domain pemerintah provinsi, tak ada kepentingan PT APL. Namun Ahok mungkin lupa, Raperda Zonasi jelas akan menentukan nasib peruntukan pulau, termasuk pulau reklamasi. Dalam hal ini, PT APL punya kepentingan dengan proyek reklamasinya di zona Teluk Jakarta, yakni Pulau G.
Lantas bagaimana PT APL bisa mengantongi izin mereklamasi Pulau G? Izin yang dikantongi PT APL terkait reklamasi Pulau G tak terlepas keputusan gubernur yang ditandatangani Ahok sendiri.
Pada 23 Desember 2014, Ahok mengeluarkan keputusan nomor 2238 tahun 2014. Keputusan ini berisi pemberian izin pada PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan APL) untuk melakukan reklamasi Pulau G.
Jika dalam meluluskan Raperda Zonasi di DPRD DKI pihak APL melakukan dugaan tindakan suap untuk mengegolkan aturan, lantas bagaimana cara yang ditempuh perusahaan raksasa itu dalam meloloskan izin reklamasi di meja Ahok?
Pertanyaan soal cara petinggi PT APL meloloskan izin reklamasi di kantor gubernur DKI masih jadi teka-teki. Sama dengan pertanyaan mengapa Ahok bisa memberi izin reklamasi Pulau G yang hingga kini masih sulit dicerna.
Sejumlah pihak mulai dari aktivis lingkungan, pengamat, hingga pemerintah pusat mempertanyakan mengapa Ahok mengeluarkan izin reklamasi. Sebab reklamasi Pulau G dinilai bermasalah sejak dimulai.
Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berani menyatakan telah terjadi pelanggaran dalam penerbitan keputusan Gubernur DKI soal reklamasi Pulau G oleh anak perusahaan APL.
Kini dengan dugaan kasus suap yang menyangkut reklamasi, akankah semua misteri terkait izin Pulau G ini terkuak?
Pertanyaan soal perizinan reklamasi hingga kini sedang didalami KPK. Mari kita tunggu saja sejauh mana kasus ini bergulir. Yang jelas KPK membuka pintu akan kemungkinan munculnya tersangka baru dalam kasus reklamasi.
Terkait kebijakan kontroversial Ahok soal reklamasi, mari kita menelusuri produk hukum serta alasan yang dikemukakan oleh eks politikus Gerindra ini.
Dalam surat keputusan Gubernur DKI nomor 2238 tahun 2014 Terkait Izin Reklamasi Pulau G, Ahok menimbang alasan pemberian izin pelaksanaan reklamasi berdasarkan produk hukum terdahulu. Ada surat Gubernur nomor 129 tanggal 21 September 2012 dan Peraturan Gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1291.
Di sisi lain ada pula Peraturan Gubernur nomor 146 tahun 2014 yang dikeluarkan di masa kepemimpinan Joko Widodo. Sekitar sebulan sebelum hijrah ke Istana, Jokowi menerbitkan pergub yang berisi pedoman teknis membangun serta perizinan prasarana reklamasi di Teluk Jakarta.
Yang selalu jadi alibi Ahok memberi izin reklamasi Pulau G adalah keputusan gubernur terdahulu yakni Fauzi Bowo. Pria yang akrab disapa Foke itu mengeluarkan keputusan gubernur nomor 121 tahun 2012 serta empat surat persetujuan prinsip reklamasi tahun 2012.
Ahok juga memakai Keppres nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam Keppres itu memang disebutkan gubernur DKI punya wewenang utama dalam reklamasi di Teluk Jakarta.
Nah, menyangkut keputusan era Foke dan Keppres 1995, mari kita bedah lebih jauh.
Keputusan yang dikeluarkan Foke tahun 2012 itu berisi penataan ruang kawasan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam izin prinsipnya, Foke mengeluarkan empat surat terkait lokasi reklamasi pulau F, G, I, dan K. PT Muara Wisesa Samudra disebut dalam izin prinsip lokasi reklamasi Pulau G.
Foke bisa leluasa mengeluarkan keputusan ini dikarenakan dia masih memegang payung hukum Keppres 1995 tentang reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Dalam Keppres yang dibuat pada masa Soeharto itu disebut, wewènang utama terkait pemberian izin reklamasi di Pantai Utara Jakarta ada di tangan Gubernur.
Namun keleluasaan Foke juga dikarenakan dirinya mengeluarkan keputusan pada 21 September 2012. Sedangkan pada tanggal 6 Desember 2012 muncul Peraturan Presiden (Perpres) nomor 122 tahun 2012 terkait Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perpres nomor 122 ini justru memberi wewenang kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait izin reklamasi di wilayah DKI yang termasuk Kawasan Strategis Nasional (KSN). Itu berarti wewenang Gubernur Ahok tak lagi sama dengan wewenang yang dimiliki Foke saat masih menjabat.
Sebab dengan Perpres yang keluar pada Desember 2012, wewenang bukan ada di DKI melainkan Menteri KKP yang hingga detik ini kukuh menolak reklamasi Pulau G.
Namun, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati tak setuju dengan anggapan yang menyebut Gubernur DKI Ahok sudah tak punya wewenang soal reklamasi.
Tutty beralibi dengan memakai Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabek serta Puncak dan Cianjur. Pada pasal 70 dalam perpres itu disebutkan, Keppres 1995 tentang Reklamasi Teluk Jakarta tetap berlaku sebagian, terutama soal wewenang Gubernur DKI dalam memberi izin reklamasi.
Tapi pernyataan Tutty langsung dimentahkan isi pada pasal 33 di Perpres nomor 122 tahun 2012 yang menyebut, "segala peraturan soal reklamasi tetap berlaku asalkan tak bertentangan dengan peraturan presiden ini."
Ini berarti aturan Keppres tahun 1995 yang menyatakan Gubernur DKI punya wewenang utama tentang reklamasi Teluk Jakarta otomatis tak berlaku. Sebab hal itu bertentangan dengan Perpres 122 yang memuat wewenang menteri KKP.
Namun muncul kemudian alibi dari Kepala Bidang Pelayanan Hukum Pemprov DKI Jakarta Solefide Sihite terkait poin di pasal 32 Perpres nomor 122 tahun 2012. Bunyi pasal itu, "permohonan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan sebelum ditetapkannya Perpers ini, diproses sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebelum ditetapkannya peraturan presiden ini."
Pihak DKI mengartikan bahwa proses reklamasi sudah berjalan sebelum Perpres 122 keluar. Itu berarti reklamasi tetap menggunakan mekanisme aturan hukum lama, yakni Keppres 1995. Tapi alibi Sihite ini justru mentah dengan adanya poin penting dalam surat izin reklamasi yang ditandatangani Ahok sendiri.
Pasal 32 Perpres nomor 122 tahun 2012 yang digunakan pemprov sebagai alibi memuat sebuah petunjuk penting. Petunjuk itu adalah kalimat 'permohonan izin lokasi DAN izin pelaksanaan reklamasi'. Kata 'dan' serta dua kata 'izin' tersebut menegaskan dua hal terpisah. Pertama soal izin lokasi. Kedua adalah izin pelaksanaan
Permohonan izin lokasi dalam konteks reklamasi Teluk Jakarta sudah dimulai sebelum perpres, atau tepatnya lewat empat surat Foke. Namun proses izin pelaksanaan reklamasi baru terjadi di era Ahok.
Surat keputusan Ahok sendiri yang nyatanya membantah argumentasi Solefide Sihite. Lewat Keputusan Gubernur nomor 2238 tahun 2014, tertulis jelas dalam bagian menimbang, tepatnya pada poin c yang berbunyi; "memperhatikan surat Direktur PT Muara Wisesa Samudra tanggal 6 Oktober 2014 Nomor 008/PT.MWSNIlI/14 hal PERMOHONAN Izin Pelaksanaan Pembuatan Fisik Pulau G....."
Surat Ahok itu menegaskan bahwa permohohan izin pelaksanaan reklamasi terjadi 6 Oktober 2014 yang berarti setelah Perpres. Ini berarti Perpres nomor 122 tahun 2012 wajib diberlakukan pemerintah DKI dalam proses izin perencanaan reklamasi.
Semasa menjadi Gubernur DKI, Jokowi menyadari kewajiban menaati perpres ini. Sehingga dalam membuat Peraturan Gubernur nomor 146 tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Membangun dan Perizinan Reklamasi, Jokowi mencantumkan Perpres nomor 122 tahun 2012.
Pertanyaannya kini, mengapa Perpres yang dipakai Jokowi sebagai dasar pertimbangan reklamasi Teluk itu raib di era Ahok? Padahal Jokowi melampirkannya Perpres itu pada aturan yang dibuat September 2014, sedangkan surat izin yang dikeluarkan Ahok hanya berselang dua bulan, yakni Desember 2014?
Keberadaan Perpres nomor 122 tahun 2012 yang tak mengakui wewenang Ahok soal izin reklamasi juga diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU ini kembali menegaskan wewenang menteri KKP dalam memberi izin pengelolaan pesisir dan pulau di Teluk Jakarta.
Dalam hirarki peraturan hukum di Indonesia, UU lebih tinggi dari perpres atau keppres. Walhasil jadi sesuatu yang amat aneh bagi seorang pejabat apabila memakai landasan keppres yang bertentangan dengan UU.
Yang menarik pasal 17 ayat 1 pada UU nomor 1 tahun 2014 ini tegas menyebut pemberian izin pengelolaan wilayah perairan (termasuk untuk reklamasi) harus diberikan berdasar rencana zonasi wilayah pesisir.
Dengan kata lain UU ini langsung menggugurkan keputusan Foke soal reklamasi hanya berdasar Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Sebab aturan gubernur yang diteken 19 September 2012 itu telah gugur secara otomatis dengan adanya produk hukum yang lebih tinggi.
Merujuk UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, jelas ada benang merah antara kasus suap Raperda Zonasi dengan reklamasi. Jadi jelas pula mengapa perusahaan pemegang izin reklamasi punya kepentingan untuk mengamankan Raperda Zonasi yang kini digodok di DPRD. Sebab izin reklamasi memang harus berdasar zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pertanyaan baru pun muncul. Mengapa izin Pulau G sudah keluar padahal rencana zonasinya belum ada?
Dari semua produk hukum yang digunakan Ahok untuk memberi izin reklamasi, keputusan menggunakan landasan keppres peninggalan Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, yang paling mengundang pertanyaan.
Padahal aturan yang berusia 20 tahun ini sudah direvisi Perpres nomor 122 tahun 2012 dan UU Nomor 1 tahun 2014 di era Presiden SBY.
Tak pelak, Ahok patut mendapat tanda tanya besar. Mengapa Perpres serta UU terkait Wilayah Pesisir yang baru berusia dua tahun dia abaikan, tapi Keppres usang berumur 21 tahun dia pakai?
Padahal saat era Jokowi pimpin DKI, Perpres era SBY itu dicantumkan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam keputusan gubernur terkait reklamasi. Mengapa selang dua bulan kemudian, saat Ahok baru menjabat gubernur, dasar yang aturan reklamasi dipakai Jokowi ini raib dalam surat keputusan soal izin Pulau G?
Kata tanya demi tanya ini sejatinya sudah dilontarkan Kementerian KKP pada Ahok. KKP mempertanyakan sikap Ahok begitu ngotot memberi izin soal reklamasi. Padahal dalam undang-undang disebut dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Dengan segala keanehan yang ada, sang gubernur masih bergeming pada sikap kukuhnya yang ingin melanjutkan proyek reklamasi.
Sebuah proyek yang jelas berharga super mahal dan hanya bisa dinikmati orang kaya ibu kota. Sedangkan rakyat kecil harus terus menderita, digusur pemerintah kota dengan alasan perbaikan lingkungan. Ironisnya air, ikan, dan segala biota laut pun kini ikut jadi korban gusuran Pemrpov DKI akibat reklamasi.
Apa pun itu skandal suap yang kini diusut KPK diharapkan bisa membuka kotak pandora besar terkait megaskandal reklamasi. Siapapun itu orangnya, jika terlibat harus disikat. Sebab tak ada toleransi bagi korupsi.
Pada akhirnya, bebas dari korupsi berarti bertindak sesuai aturan hukum perundangan yang ada. Bebas korupsi jelas bukan dengan bertindak menyalahi undang-undang. Begitupun pejabat dalam membuat aturan yang terkait proyek bernilai besar.
Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip kembali penggalan pasal 33 Ayat 2 UUD 1945, 'bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.' Sekali lagi untuk kemakmuran rakyat, bukan korporat....
No comments:
Post a Comment