SOPA, Amerika Serikat menipu sejarahnya - Amazing Indonesia

Latest

Friday 20 January 2012

SOPA, Amerika Serikat menipu sejarahnya

SEJARAH Amerika Serikat mencatat Konstitusi Amerika dirangkai di Philadelphia pada Mei 1787 dibuat oleh 55 anggota yang mewakili 12 negara bagian. Di antara mereka terdapat sosok George Washington, James Madison, Alexander Hamilton, dan Gouverneur Morris.

Di antara para pemikir-pemikir utama Amerika pada masa itu, James Madison adalah pemikir yang melampaui masanya. Dari isi kepalanya lahir ide kebebasan pers dan kebebasan berbicara yang disetujui dan menjadi Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat.

Sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Agung AS, Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat memberikan jaminan kebebasan berbicara terkuat di dunia. Tidak seperti orang di banyak negara lain, Amerika bebas untuk mengkritik satu sama lain dan pejabat pemerintah.

Amerika sangat bangga pada hak kebebasan berbicara sehingga mendorong pers bebas yang kuat yang secara teratur, menjalankan tugas sebagai elemen keempat demokrasi membersihkan korupsi dan kebijakan ngawur pemerintah Amerika.

Pasca Watergate dan Pentagon Paper kebebasan pers dan kebebasan berbicara ala Amerika Serikat dikagumi dan ditiru dimana-mana. Namun Wikileaks mengubah segalanya, Amerika Serikat mulai mencari celah hukum untuk membungkam kebebasan berbicara yang dilindungi Amandemen Pertama Konstitusi.

Celah tersebut adalah pemberlakukan Stop Online Piracy Act (SOPA) atau House Bill 3261 (HR 3261), rancangan perundangan yang diajukan ke DPR AS pada 26 Oktober 2011 oleh anggota komite hukum DPR AS yang berasal dari Partai Republik, Texas, Lamar Smith.

Sebagai legislator asal Partai Republik, Lamar berkepentingan menyuarakan kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang selama ini dikenal sebagai donatur utama partai tersebut.

Tetapi mengapa SOPA ditentang? Jika selama ini logika di balik hak cipta (copyrights) adalah selalu tertuju pada ketidakterpisahan antara apa yang terbayangkan yang kemudian diwujudkan.

Maka, melalui SOPA, logika hak cipta ini diperluas menjadi hak mencuplik dan mengakses, meski sudah menyebut sumbernya. Alhasil menyebutkan sumber dicuplik tetap bisa dijerat aturan.

Penyebutan sumber saja menurut perancang SOPA dipandang kurang memadai sebagai bentuk pengakuan atas ciptaan atau karya cipta dari sang sumber. Dengan SOPA, ada upaya nyata melindungi karya cipta, sekaligus membatasi siapa saja untuk mengetahui informasi melalui internet.

Jelas SOPA menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja media dan meresahkan berbagai situs sosial, seperti Facebook, Twitter, Google, Yahoo dan Wikipedia. Tak heran mereka bereaksi pada 16 November 2011 dengan mengirim petisi ke anggota senat dan kongres AS.

Namun, petisi itu mentah. Aksi lebih keras dilakukan Wikipedia yang mulai hari ini menghitamkan diri. Sang pendiri Wikipedia Jimmy Wales menyatakan aksi menghitamkan tayangan adalah sebagai bentuk protes mereka kepada SOPA.

Maklum saja SOPA memberikan kesempatan kepada penyedia jasa internet AS jika  ingin memperkarakan website atau situs lain dengan menggunakan hukum pelanggaran hak cipta.

Dengan SOPA penyedia jasa internet di AS bisa memperkarakan situs-situs sosial yang mencuplik informasi dari web pemerintah, bocoran informasi atau bahkan dokumen-dokumen rahasia yang seharusnya diketahui publik. Bahkan mengakses informasi pun harus minta ijin.

Jurnalis AS Rebecca McKinnon dan Electronic Freedom Foundation (EFF) mengingatkan kepada semua kalangan jika SOPA disahkan, bukan saja situs jejaring sosial yang akan langsung ditutup, situs seperti YouTube, Mozilla, eBay, Linkedln, Reddit, Etsy, Flickr serta Vimeo juga dipaksa bubar karena kerap menjadi tempat beredarnya informasi yang dianggap haram dalam aturan SOPA.

Lalu siapa dibalik SOPA? Disebut-sebut Rupert Murdoch sebagai pemilik News Corp mendapat mandat dan uang dari Pangeran Al Waleed bin Talal, anggota Keluarga Kerajaan Arab Saudi.

Marak disebut-sebut sang pangeran berusaha membungkam media dengan uangnya. Setelah menggelontor microblog Twitter, Al Waleed kini mencoba membuat televisi berita pesaing Al Jazeera.

Lalu apa dampak SOPA ke Indonesia? Tak hanya media yang mati kutu karena terbiasa mengakses informasi di dunia maya, akademisi dan anak sekolah yang terbiasa menggunakan internet sebagai sumber informasi akan kena imbasnya. Dengan SOPA akses menuju jurnal ilmiah hingga buku gratis akan dibatasi.

Jika masih ngotot dan ngeyel? Ingat saja bersama SOPA terdapat pasal Protect IP Act (PIPA) yang bisa mematikan IP para pelanggar nakal. Siap-siap saja jika tahu-tahu Anda tak bisa masuk ke situs yang Anda ingin akses dari Amerika yang kini menipu sejarah mereka sendiri.


No comments:

Post a Comment