5 Dosa Ahok dalam Proyek Reklamasi - Amazing Indonesia

Latest

Thursday 21 April 2016

5 Dosa Ahok dalam Proyek Reklamasi


  1. Izin pelaksanaan reklamasi yang diterbitkan Ahok bertentangan dengan Perpres nomor 122 tahun 2012 dan UU nomor 27 tahun 20007 juncto UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
  2. Perpres nomor 122 tahun 2012 yang menjadi dasar Jokowi mengeluarkan surat Gubernur pada September 2014, raib saat Ahok mengeluarkan keputusan pada Desember 2014.
  3. Ahok memperpanjang Izin prinsip reklamasi. Izin prinsip reklamasi yang dikeluarkan Gubernur Fauzi Bowo (Foke) pada September 2012 mestinya berakhir pada 2014. Namun Ahok justru memperpanjang izin itu sehingga melanggar pasal 32 ayat 2 Perpres nomor 122 tahun 2012.
  4. Ahok mengeluarkan izin minus syarat perda zonasi. Hal ini menabrak UU nomor 1 tahun 2014 maupun Perpres 122 tahun 2012. Kaitannya dengan kasus dugaan suap Sanusi, bisa diibaratkan proses pembuatan SIM. Seperti SIM yang dikeluarkan kepada calon pengendara tanpa melewati syarat lulus ujian tertulis. Apalagi jika kemudian dalam proses ujian praktiknya, si pembuat SIM kepergok menyuap si pengawas ujian.
  5. Moratorium reklamasi menguatkan bukti bahwa izin yang sudah diterbitkan Ahok salah secara administratif. Sedangkan setelah Ahok menerbitkan izin reklamasi, saham APLN Naik 17 persen. Jika termasuk merugikan negara, hal ini bisa masuk ranah tindakan pidana korupsi.


Berikut ini tulisan lengkap Redaktur Republika Abdullah Sammy yang dirilis di Republika.co.id, Rabu (20/4/206):


Teka-teki Unsur Korupsi di Proyek Reklamasi


Akhirnya tak ada lagi alibi dari pemerintah provinisi DKI untuk terus melanjutkan proyek reklamasi. Alasan DKI yang kukuh menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 52 tahun 1995 terkait reklamasi di Pantai Utara Jakarta, akhirnya mentah oleh keputusan yang dikeluarkan Kemenko Maritim dan Sumber Daya Manusia.

Usai menggelar pertemuan dengan Menko Maritim dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akhirnya tak nyaring lagi bersuara mempertahankan proyek reklamasi.

Nyatanya, alibi keppres yang selalu didengungkan Ahok dimentahkan pemerintah pusat. Kemenko Maritim menyatakan payung hukum utama reklamasi adalah Perpres nomor 122 tahun 2012 dan UU nomor 27 tahun 20007 juncto UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam artikel berjudul 'Membedah Izin Ahok atas Reklamasi Teluk Jakarta' yang dimuat Republika Online edisi Selasa 5 April 2016, sudah dijelaskan secara rinci letak kekeliruan Ahok soal reklamasi ini. Dalam artikel itu pula dipertanyakan landasan keppres yang dipakai Ahok nyatanya bertentangan dengan dua payung hukum yang hirarkinya lebih tinggi.

Walau kemudian muncul pembelaan dengan versi berbeda, nyatanya tetap tak bisa menolong kebijakan Ahok soal reklamasi. Reklamasi akhirnya berhenti! Setidaknya untuk sementara.

Dua payung hukum (UU nomor 27 tahun 2207 yo UU nomor 1 tahun 2014 dan Perpres 122 tahun 2012) sejak awal dilangkahi Ahok lewat keputusannya mengeluarkan izin reklamasi. Dalam surat keputusan gubernur nomor 2238 tahun 2014 tentang izin pelaksanaan reklamasi Pulau G oleh anak perusahaan Agung Podomoro Land, Ahok jelas-jelas menghilangkan dua aturan utama tentang reklamasi itu.

Padahal, dua bulan sebelum surat Ahok terbit, Jokowi (kala itu masih jadi gubernur DKI), mengeluarkan aturan yang berhubungan dengan reklamasi dengan berdasar pada Perpres 122 tahun 2012.

Keputusan yang dikeluarkan Jokowi pada September 2014 itu adalah produk hukum terakhir terkait reklamasi, sebelum Ahok mengeluarkan keputusan selang dua bulan setelahnya. Sudah sewajarnya Ahok menggunakan dasar hukum yang sama dengan yang digunakan Jokowi itu sebagai landasan.

Tapi ironisnya, Perpres nomor 122 tahun 2012 yang jadi dasar Jokowi mengeluarkan surat Gubernur pada September 2014, raib saat Ahok mengeluarkan keputusan pada Desember 2014. Raibnya Perpres tahun 2012 dalam dasar surat keputusan Ahok hingga kini masih menjadi tanda tanya. Apakah murni alpa atau disengaja?

Sejatinya dalam Perpres nomor 122 tahun 2012 ada beberapa aturan yang terang-terang diterabas Ahok. Salah satunya adalah keputusannya memperpanjang izin prinsip reklamasi pada tahun 2014.

Memang, izin prinsip reklamasi awalnya dikeluarkan Gubernur Fauzi Bowo (Foke) pada September 2012 dan berakhir pada 2014. Izin yang dikeluarkan Foke itu terbit dua bulan sebelum Perpres nomor 122 keluar pada Desember 2012.

Pada bab ketentuan peralihan di pasal 32 ayat 2 Perpres nomor 122 menegaskan tak ada mekanisme perpanjangan izin reklamasi yang mengacu pada produk aturan lama. Isi pasal itu berbunyi, 'Izin lokasi reklamasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku SAMPAI DENGAN jangka waktu izin berakhir.'

Izin prinsip Foke yang nyatanya telah berakhir nyatanya malah diperpanjang Ahok. Padahal ketentuan perpres justru mengamanatkan izin Foke hanya berlaku hingga masa berlakunya berakhir, atau pada 2014. Setelah izin prinsip berakhir, Perpres nomor 122 tahun 2012 wajib mengikat pada proyek reklamasi warisan Foke itu. Tapi Ahok malah memilih menerabas aturan itu dan kukuh memperpanjang izin prinsip yang bersandar pada payung aturan tahun 1995.

Sikap dan perkataan Ahok soal reklamasi pun kerap berubah-ubah dan tak konsisiten. Jika Ahok selama ini mengaku takut dipecat karena melangkahi Keputusan Presiden 1995, mengapa dia justru berani melangkahi Peraturan Presiden tahun 2012 maupun UU nomor 27 tahun 2007 yo UU nomor 1 tahun 2014? Padahal strata hukum UU atau Perpres jauh lebih tinggi dari sekadar keppres yang dikeluarkan 21 tahun lalu itu.

Logika apa yang dimainkan di kepala seorang Basuki Tjahaja Purnama yang selama ini digembar-gemborkan sebagai pemimpin yang berani, jujur, dan tegas itu?

Yang jelas, usai moratorium reklamasi diputuskan Kemenko Maritim, Ahok mengaku lega. Padahal, sebelumnya, Ahok mengaku takut dipecat DPRD atau dituntut oleh pihak perusahaan ke pengadilan jika proyek reklamasi dihentikan.

Namun nyatanya, pemerintah pusat berani yang mengambil alih tanggung jawab menghentikan reklamasi. Apakah kemudian muncul ancaman DPR menggoyang pemerintah akibat keputusan soal moratorium reklamasi? Atau muncul-kah tuntutan seperti yang selama ini digemborkan Ahok bila reklamasi dihentikan? Inilah saatnya menguji kebenaran ucapan sang Gubernur.

Lepas dari tanda tanya besar itu, Ahok memang boleh saja merasa lega. Tapi surat keputusan yang dikeluarkannya soal izin pelaksanaan reklamasi tetap mesti diusut.

Sebab surat itu mengawali skandal besar reklamasi. Surat Ahok terkait pelaksanaan reklamasi di Pulau G punya benang merah dengan kasus Raperda Zonasi berujung dengan dugaan suap yang menjerat anggota DPRD, M Sanusi.

Sebab, Ahok mengeluarkan izin minus syarat perda zonasi. Padahal UU nomor 1 tahun 2014 maupun Perpres 122 tahun 2012 menegaskan kewajiban rancangan zonasi sebelum izin reklamasi diterbitkan. Sedangkan Ahok menerbitkan izin reklamasi lebih dahulu, baru syarat reklamasinya (berupa Perda Zonasi) disusun belakangan.

Kasus ini bisa diibaratkan proses pembuatan SIM. Seperti SIM yang dikeluarkan kepada calon pengendara tanpa melewati syarat lulus ujian tertulis. Apalagi jika kemudian dalam proses ujian praktiknya, si pembuat SIM kepergok menyuap si pengawas ujian.

Jelas si pembuat SIM selaku penyuap dan okum pengawas ujian praktik (selaku penerima suap) berada dalam posisi bersalah. Lantas bagaimana pihak yang sengaja meloloskan SIM tanpa melewati tahapan proses ujian tertulis itu? Apakah dia bisa lolos dari tanggung jawab kesalahan. Apakah patut dicurigai ada indikasi pelanggaran serupa sehingga membuat si pengendara bisa mengantongi SIM tanpa ikut ujian tertulis?

Mari kita pertahankan konstruksi kisah SIM tersebut. Namun kita ganti aktor pembuat SIM menjadi perusahaan, sedangkan pengawas ujiannya oknum DPRD DKI, sedangkan pihak yang mengeluarkan SIM adalah Gubernur DKI.

Mari kita cermati analogi tersebut dan renungkan, apakah izin reklamasi dan Raperda Zonasi adalah proses yang terpisah sama sekali?

Apa pun itu, moratorium reklamasi pada akhirnya menguatkan bukti bahwa izin yang sudah dikeluarkan Ahok salah secara administratif. Ada kekeliruan besar karena reklamasi menabrak aturan hukum, yakni UU nomor 27 tahun 2007 yo UU no or 1 tahun 2014 dan Perpres nomor 122 tahun 2012. Sebuah kesalahan yang harus ditelusuri dampaknya bagi negara.

Sebab pada akhirnya, setiap keputusan pejabat yang merugikan negara dan menguntungkan pihak lain (korporasi) di sisi sebaliknya, bisa tergolong tindakan korupsi. Ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 tahun 2001, 'Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun....” Hal ini pun berlaku dalam kasus reklamasi.

Apakah dengan izin gubernur soal reklamasi itu korporasi sudah mereguk untung dari jual beli aset properti di tanah reklamasi? Ataukah apakah saham perusahaan meroket tinggi dengan terbitnya surat izin terkait reklamasi?

Terkait pertanyaan di atas, saya mencoba melakukan penelurusan seputar pemberitaan pergerakan harga saham APLN di lantai bursa usai Ahok menerbitkan surat izin reklamasi. Nyatanya ada sebuah temuan mengejutkan yang termuat lewat sebuah artikel pemberitaan analisis saham per 7 Januari 2015. Pemberitaan itu mengambil tajuk utama, 'Ahok Setujui Proyek Reklamasi, Saham APLN Naik 17 persen.'

Dalam artikel yang dimuat laman Bareksa.com dijelaskan bahwa kebijakan mengeluarkan izin reklamasi telah memberi dampak positif bagi saham Agung Podomoro Land (APLN) di lantai bursa.

"Harga Saham PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) hari ini mengalami penguatan bersamaan dengan keluarnya izin pelaksanaan reklamasi Pluit City.....Harga saham APLN sampai jam 15.00 wib menguat 17,27 persen menjadi Rp 421 per saham dari sebelumnya Rp 359. Nilai transaksi saham APLN hari ini mencapai Rp 170 miliar dengan aksi beli bersih investor asing sebesar Rp 11,6 miliar." begitu isi artikel yang dimuat 7 Januari 2015, atau nyaris bertepatan dengan pengumuman soal terbitnya izin reklamasi.

Semua temuan jelas masih mesti dikaji secara mendalam. Ini sembari mempertimbangkan kerugian dari sisi lingkungan maupun dampak yang diterima nelayan. Pantas pula kini muncul perdebatan sengit soal ada atau tidaknya ikan di Teluk Jakarta. Sebab jika memang benar ada, maka hal itu bisa menjadi salah satu dasar nelayan menggugat proyek reklamasi yang telah merugikan mereka.

No comments:

Post a Comment